Membenahi Tata Kelola


Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2022 anjlok, terparah dalam sejarah. Korupsi terjadi di sistem politik dan bernegara, berbagai konflik kepentingan, dan penyalahgunaan jabatan. Pembenahan perlu hingga akar: tata kelola.

Oleh
YANUAR NUGROHO
https___inr-production-content-bucket.s3.ap-southeast-1.amazonaws.com_INR_PRODUCTION_photo_pre_2023_02_15_3e356069-c187-4737-92e7-4a00a6f0d46b_jpg

Sejauh suatu masyarakat mempunyai paham dan cita-cita membentuk tatanan, sejauh itu pula korupsi menjadi kegelisahan abadi. (B Herry-Priyono, ”Korupsi”, 2018: 527)

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2022 anjlok empat poin, terparah dalam sejarah.

Dari skor 38 di peringkat ke-96, turun menjadi 34, terlempar ke peringkat ke-110 dari 180 negara (Transparency International, 1/2/2023). Artinya, negeri ini hanya mampu meningkatkan dua poin skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dari 32 selama satu dekade terakhir sejak 2012. Skor saat ini sama dengan saat Jokowi terpilih sebagai presiden pada 2014.

Banyak pihak terkejut. Presiden sendiri dengan nada tinggi mengatakan, ini akan menjadi bahan koreksi dan evaluasi. Padahal, dari jauh hari, ini bisa diprediksi, bahkan dicegah, atau setidaknya diantisipasi. Namun, itu tidak terjadi. Mengapa? Barangkali karena kita terlalu terbiasa memaklumi korupsi.

Baca juga: Indeks Persepsi Korupsi Turun, Presiden: Jadi Bahan Evaluasi

Keluasan korupsi

IPK menunjukkan persepsi di kalangan pelaku bisnis dan para pakar tentang tata kelola pemerintahan dan tingkat korupsi di sektor publik. Penurunan terburuk Indonesia ada pada indikator ”risiko politik” (48 menjadi 35) yang mengindikasikan banyaknya korupsi dalam sistem politik.

Turunnya indikator ”risiko ekonomi dan politik” (32 menjadi 29) menunjuk pada masifnya konflik kepentingan antara para politisi yang memegang kewenangan di bidang eksekutif dan legislatif dengan pebisnis. Ini mengakibatkan anjloknya daya saing (22 menjadi 39).

Ini tak mengejutkan. Pertama, korupsi di sistem politik memang masif dan marak: mulai dari pembayaran khusus dan suap terkait izin ekspor-impor, kontrol perdagangan, penghitungan pajak, hingga pelindungan pinjaman. Wujudnya antara lain patronase, nepotisme, kolusi, pendanaan partai secara rahasia, serta hubungan dekat yang mencurigakan antara politik dan bisnis.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/akjpvOrlh9Q_xlwBl8tNoU27PXA=/1024x1568/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F31%2Fffce8afd-8315-410d-877f-1855c2c9e9aa_png.png

Baca juga: Tiga Upaya Pemerintah Atasi Korupsi

Kedua, konflik kepentingan penyelenggara negara yang akut. Banyak pebisnis dan pengusaha jadi pejabat publik, atau sebaliknya, pejabat publik menjadi pemilik bisnis dan usaha. Mereka membuat kebijakan yang hanya menguntungkan dan melindungi diri dan kroni.

Mulai soal kebun sawit, tambang batubara, perumahan, hingga mobil listrik, bahkan melemahkan pencegahan dan penindakan korupsi melalui regulasi. Apa yang diributkan sebagai masifnya oligarki menunjuk pada berurat-berakarnya konflik kepentingan ini.

Ketiga, rendahnya daya saing. Tak perlu jadi ahli untuk tahu bagaimana suap dan korupsi antara sektor bisnis dan pelayanan publik terjadi: sejak pengurusan izin, berbagai pelicin untuk memuluskan usaha, hingga penghindaran pajak. Akibatnya, kemudahan berusaha (ease of doing business) jeblok dan tak ada kepastian hukum bagi bisnis. Jelas, situasi ini berpengaruh pada daya saing perusahaan dan pada akhirnya negara.

Korupsi bukan sekadar tindakan penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan merugikan keuangan atau perekonomian negara (UU No 31/1999, UU No 20/2001). Lebih luas lagi: ”korup” (corruptus-a-um) dan ”korupsi” (corruptio) dalam bahasa Latin merujuk pada kebalikan dari nilai-nilai yang dipandang sebagai keutamaan, seperti integritas, idealitas, keandalan, dan keutuhan.

Korupsi di sistem politik dan bernegara, berbagai konflik kepentingan, dan penyalahgunaan jabatan ditoleransi, bahkan dimaklumi, oleh pemerintah, bisnis, parlemen, masyarakat sipil, juga akademisi.

Namun, karena demikian luasnya praktik ini, sebagian besar kita jadi terbiasa membiarkan yang sebenarnya rusak, cemar, dan busuk itu. Korupsi di sistem politik dan bernegara, berbagai konflik kepentingan, dan penyalahgunaan jabatan ditoleransi, bahkan dimaklumi, oleh pemerintah, bisnis, parlemen, masyarakat sipil, juga akademisi. Maka, jangan heran IPK anjlok. Ini saatnya mawas diri: berhenti memaklumi korupsi, lalu memperbaiki pencegahan dan pemberantasannya secara berarti. Caranya? Membenahi akarnya: tata kelola.

Tentang tata kelola

Tata kelola (governance) adalah akar tatanan (order). Tak ada kemajuan dan keadaban tanpa tatanan, dan tak ada tatanan tanpa tata kelola. Namun, kebanyakan omong tentang tata kelola makin kehilangan makna. Mungkin karena ”mengapa”-nya jarang dipikirkan mendalam, tersesat dalam kesibukan ”bagaimana” melakukannya. Padahal, penting memahami substansi tata kelola agar efektif membenahi kerusakannya.

Adalah tiga pemikir politik paling berpengaruh pada Abad Pencerahan (Aufklarung)—Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), dan Jean-Jacques Rousseau (1712–1778)—yang mendasarkan filosofi pemerintahan (government) dan tata kelola pada teori ”kontrak sosial”. Ketiganya bersepakat, jantung kontrak sosial adalah otoritas pemerintah yang terletak pada persetujuan dari yang diperintah.

Ini kunci untuk hidup dalam tatanan masyarakat yang beradab (societas civilis). Bagi Locke, setiap individu punya hak alamiah dan tatanan ada untuk melindungi hak alamiah mereka. Sebaliknya, bagi Rousseau, tatanan berperan mencapai kesatuan sambil mempertahankan kebebasan pribadi.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/AzWGPV4DHdNEoMtMcwPUd1PucW8=/1024x2143/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F01%2F20%2Fc82ac01c-8a8b-486c-b087-3be5328feb62_png.jpg

Meskipun gagasan kontrak sosial ini dikritik David Hume (1711-1776) dan Adam Ferguson (1723-1816) yang skeptis tentang adanya pemerintah yang berasal dari persetujuan dan bukan didasarkan pada kekuatan penguasa, ia memberikan fondasi bagi pemahaman tata kelola dalam pemerintahan dan tatanan modern. Singkatnya, tata kelola mesti dipahami sebagai pemisahan kuasa mereka yang mengatur dan memerintah tatanan.

Pokok ini sentral dalam memikirkan peran kuasa dan kepentingan dalam tatanan modern saat ini. Pemisahan kuasa mungkin bisa dipahami lewat gagasan sederhana ini. Mereka yang punya kuasa membuat aturan tak boleh melaksanakan; yang punya kemampuan melaksanakan tak boleh mengawasi; dan yang punya wewenang mengawasi tak boleh membuat aturan. Itulah esensi dan prinsip tata kelola: untuk mencegah konflik kepentingan mereka yang punya kuasa. Prinsip sederhana ini mesti menjadi dasar untuk menata kembali berbagai perkara publik (res publica) yang didera berbagai perilaku korup.

Menata ”res publica”

Dalam IPK, dua indikator membaik: aspek hukum (23 ke 24) dan demokrasi (22 ke 24). Namun, perbaikannya terlalu marjinal. Artinya, strategi dan program pemberantasan korupsi lewat penegakan hukum dan demokrasi Joko Widodo dinilai tidak efektif. Di mana salahnya?

Sebenarnya Jokowi memulai pemerintahannya dengan perbaikan tata kelola yang cukup mendasar meski tak semenarik pembangunan infrastruktur untuk jadi berita.

Sebenarnya Jokowi memulai pemerintahannya dengan perbaikan tata kelola yang cukup mendasar meski tak semenarik pembangunan infrastruktur untuk jadi berita. Dia tak enggan meneruskan apa yang sudah dimulai di era sebelumnya, bahkan memperkuatnya.

Misalnya meletakkan dasar hukum Kebijakan Satu Peta (Perpres No 9/ 2016), Satu Data Indonesia (Perpres No 39/2019), dan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (Perpres No 95/2018) untuk fondasi transformasi digital; memperkuat Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Perpres No 54/2018, membarui Perpres No 55/2012), membarui sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah (Perpres No 16/2018), serta membuat terobosan keterbukaan Pemilik Manfaat/Beneficial Ownership (Perpres No 13/2018) untuk mendorong keterbukaan dan transparansi.

Demikian juga inisiatif mereformasi birokrasi lewat pembenahan manajemen PNS (PP No 30/2019) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PP No 49/2018) agar kian efisien serta memperbaiki iklim usaha dan investasi lewat Online Single Submission (UU No 11/2020), dan masih banyak lainnya.

Banyak pihak memuji langkah ini. Skor IPK pun naik: dari 36 (2015), ke 37 (2016-2017), 38 (2018), dan Jokowi menutup periode pertama dengan skor 40 (2019), peringkat ke-85 dari 180 negara. Namun, menyiapkan kerangka regulasi saja tidak cukup. Intinya ada di implementasi dan memastikan tidak ada set-back (pembalikan). Ironisnya, justru itu yang terjadi pada periode kedua.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/OvBSqb7lMNyYbRJdpnzHJvz9Rbk=/1024x1187/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F09%2F23%2Fb63a3797-172b-4b9b-979e-f462a85ac56f_png.png

Revisi UU KPK 2019 hakikatnya adalah perubahan strategi untuk mengurangi penegakan hukum dan menggesernya ke pencegahan korupsi. Berbagai program pemberantasan korupsi untuk layanan publik dan bisnis, seperti digitalisasi layanan publik—bahkan UU Cipta Kerja—diklaim sebagai strategi besar untuk memberantas korupsi melalui pencegahan. Tapi, anjloknya nilai IPK menegaskan itu tak berjalan. Mengapa?

IPK memberi petunjuk: absennya tata kelola di sistem politik yang melahirkan konflik kepentingan. Prinsip dasar pemisahan kuasa dan wewenang tidak dijalankan. Sereformis apa pun kebijakan- nya, jika wewenang tak dipisahkan, akan ambruk juga agenda reformasinya.

Jangankan memilah pembuat kebijakan, yang mengimplementasikan, dan yang mengawasi, semua bercampur. Sang pembuat kebijakan sekaligus yang menjalankan, yang menjalankan sekaligus mengawasi, yang mengawasi ikut membuat kebijakan—atau malah semuanya: yang membuat kebijakan ikut menjalankan dan sekaligus mengawasi.

Umumnya ini tidak hanya melibatkan relasi bisnis dan pemerintah, tetapi juga partai politik. Ambillah secara acak kasus apa pun yang tengah jadi perhatian (atau yang tidak). Kajilah dengan menggunakan pisau analisis tata kelola sederhana di atas. Akan segera terlihat akarnya: tidak ada pemisahan kuasa—tidak ada tata kelola.

Sereformis apa pun kebijakannya jika wewenang tak dipisahkan, akan ambruk juga agenda reformasinya.

Saatnya berbenah

Karena itu, meski terbatas, beberapa hal kunci bisa dilakukan untuk membenahi tata kelola. Pertama, dalam jangka pendek Jokowi mesti tegas mengatakan ”cukup”—bahkan ”stop”—kepada pejabat publik soal konflik kepentingan.

Mereka yang tetap terlibat setelah ditegur mesti dapat sanksi. Ketegasan Jokowi akan dicatat sejarah: apakah ia berani menghentikan konflik kepentingan dalam pemerintahannya.

Kedua, mumpung pemilu belum berlangsung, menegaskan dan menegakkan transparansi dan akuntabilitas pendanaan parpol. Ini cara menjawab tantangan risiko korupsi politik yang kian tajam menjelang Pemilu 2024. Meski langkah ini tak akan populer kalau Jokowi negarawan yang mengedepankan tatanan, ia tak akan ragu melakukan itu.

Ketua KPK Firli Bahuri mengumumkan penahanan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter angkut AW-101 di TNI AU pada tahun 2016-2017 di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (24/5/2022).
NIKOLAUS HARBOWO

Ketua KPK Firli Bahuri mengumumkan penahanan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter angkut AW-101 di TNI AU pada tahun 2016-2017 di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (24/5/2022).

Ketiga, segera mengesahkan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dan RUU Pembatasan Transaksi Tunai. Ini akan menunjukkan keseriusan dalam membenahi pemulihan aset tindak pidana dan mencegah berulangnya praktik kotor politik uang yang bisa berujung pada tindak pidana korupsi dan pencucian uang.

Terakhir, dalam jangka panjang, meletakkan dasar untuk melakukan reformasi hukum dan regulasi penegakan hukum. Pertama, mereformasi KUHAP yang selama ini memberi banyak kewenangan pada aparat penegak hukum (APH) sehingga kerap menyalahgunakan wewenang, termasuk korupsi. Kedua, reformasi birokrasi untuk memperbaiki perekrutan dan meningkatkan kesejahteraan APH. Ketiga, menyiapkan institusi pengawas independen untuk reformasi birokrasi APH tersebut.

Cita-cita negeri ini mesti dirawat dan dijaga dengan membenahi tatanannya. Meski menghadapi berbagai terpaan, kita mesti punya keyakinan, ”tatanan yang semakin tidak-korup bukanlah kemustahilan” (B Herry-Priyono, 2018: 535).

Yanuar NugrohoDosen STF Driyarkara, Visiting Senior Fellow ISEAS Singapura dan University of Manchester Inggris, Deputi II Kepala Staf Kepresidenan RI 2015-2019

SUMBER: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/02/15/membenahi-tata-kelola

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>