Miraj dan Banalitas Politik


Miraj semoga menyuntikkan kesadaran ihwal pentingnya menaikkan mutu demokrasi kita sehingga menyentuh langit-langit substansinya, tidak justru meluncur ke bawah menjadi sekadar elektoral.

Oleh
ASEP SALAHUDIN
https___inr-production-content-bucket.s3.ap-southeast-1.amazonaws.com_INR_PRODUCTION_photo_pre_2023_02_15_59bccf8b-5aab-47d2-9207-179f959b380c_jpg

Isra Miraj 27 Rajab 1444 bertepatan dengan 18 Februari 2023. Ini merupakan hari besar umat Islam yang bertemali dengan peristiwa kenabian ihwal perjalanan malam dari Masjidil Haram, Mekkah, menuju Masjidil Aqsa, Palestina. Berlanjut kepada kenaikan menembus langit menghampiri Sang Ilahi, menerima perintah sembahyang sebagai bentuk kebaktian hamba kepada Tuhan-nya.

Miraj tentu artinya naik. Frasa naik melambangkan tentang capaian ruhaniah yang dilakukan lewat pendakian yang tidak mudah. Setelah segenap ikhtiar dilakukan secara optimal, sisanya Tuhan yang menyelesaikan. Kenaikan kelas hanya dimungkinkan setelah melewati ujian. Setelah lulus menjawab seluruh masalah kehidupan yang menghampiri.

Maka, menjadi bisa dipahami bahwa dalam agama semitik yang kemudian sering disebut ”ahlul kitab”, kantong-kantong kearifan itu seringkali disimpan ”di langit”, termasuk proses pewahyuan. Ini juga tampaknya yang menjadi alasan agama-agama seperti itu disebut ”samawi” (agama langit) sebagai bandingan dari agama bumi (ardhi). Secara geografis agama samawi seluruhnya berlatar padang pasir sehingga posisi langit menjadi menggetarkan. Berbeda dengan masyarakat agraris, justru bumi yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari alam pikiran dan penghayatannya.

Baca juga: Hakikat Isra Miraj

Pada latar langit, konsep diri Tuhan pun lebih maskulin (jalaliah). Berbeda dengan bumi di belakangnya melambangkan citra Tuhan yang feminim (jamaliah). Pada maskulinitas Tuhan, ajaran yang menonjol adalah aspek legalitas (fiqh) yang serba hitam putih, termasuk semangat melakukan ekspansi (dakwah/misionaris) dari agama-agama tersebut.

Berbalikan dengan feminitas Tuhan yang lebih dikedepankan penghayatan ke dalam, meditasi, menyatu dengan alam. Dalam istilah Rudolof Otto, ”langit” melambangkan mysterium tremendium (Tuhan sebagai misteri yang menggentarkan) dan bumi epifani dari paras Tuhan yang meneduhkan (mysterium fascinans).

Pada gilirannya tentu saja satu agama dengan lainnya saling memengaruhi. Kosmopolitanisme agama tidak diletakkan kepada ”keaslian” ajarannya, tetapi justru pada kesanggupannya melakukan dialog dengan agama lain, berakulturasi dengan beragam budaya yang dijumpainya ketika setiap pemeluk agama melakukan lawatan ke berbagai kawasan.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/q5d028AW3Dhl3bbFqR1SD1cmVU4=/1024x1026/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F06%2F03%2F1803adb5-8f49-49c9-a7ff-7e265fdcaa86_jpg.jpg

Hiruk pikuk politik

Satu hal yang tidak bisa diabaikan dalam setiap dinamika keagamaan adalah keterlibatan politik di dalamnya. Sejarah agama secara laten terhubung dengan hiruk pikuk politik. Bahkan seringkali kemenangan sebuah agama (mazhab) tampil ke permukaan ditopang oleh kekuatan politik.

Agama (din), negara (daulah), dan sultan (penguasa) menjadi trisula yang hubungannya saling menguntungkan atau merugikan tergantung kita melihatnya dari sisi mana. Jauh-jauh hari bahkan seorang teoritikus filsafat politik Islam abad pertengahan Al-Farabi (10 Januari 872-17 Januari 951) membuat klasifikasi negara kaitannya dengan agama dan penguasa menjadi lima kategori:

Pertama, negara utama (Al-Madinah Al-Fadilah), yaitu negara yang dipimpin para nabi dan ditopang oleh para filsuf; keterampilannya dalam memimpin ditandai dengan indeks kebahagiaan warganya yang terus meningkat. Moralitas dan spiritualitas menjadi sumbu bernegara.

Satu hal yang tidak bisa diabaikan dalam setiap dinamika keagamaan adalah keterlibatan politik di dalamnya.

Kedua, negara orang-orang bodoh (Al-Madinah Al-Jahilah), negara yang penduduknya sama sekali tidak mengenal kebahagiaan. Sementara para penguasanya tidak peduli dengan rakyatnya dan sibuk memuaskan hasrat badaniahnya.

Ketiga, negara orang-orang fasik (asl-madinah al-fasiqah), yaitu negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, tetapi tingkah laku mereka sama dengan penduduk negara orang-orang bodoh.

Keempat, negara yang berubah-ubah (Al-Madinah Al-Mutabaddilah), yaitu negara yang dikelola secara serampangan dan tidak memiliki prinsip keutamaan dalam menjalankan roda pemerintahannya. Seandainya ada yang disebut ”ideologi”, maka keberadaannya tak lebih sekadar justifikasi untuk melegalkan perbuatan buruk.

Kelima, negara sesat (Al-Madinah Ad-dallah), yaitu negara yang dipimpin penguasa yang tidak memiliki kualifikasi moral, tidak kompeten, rekam jejak yang busuk, dan semata-mata berkuasa hanya untuk menghimpun rente dan menyalurkan hasrat primitif hawa nafsunya.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/ZFOzkGSa9nz3p9If0WXukblCVZY=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F04%2F04%2Ffd3f6a51-3591-40e5-b48e-bfce2a36aede_jpg.jpg

Karena hubungan agama dan negara selalu labil, tidak pernah solid, Al-Ghazali membuat buku panduan berpolitik. At-Tibrul Masbuk Fi Nashihatil Muluk, Nasihat Imam Al-Ghazali untuk Penguasa. Kitab ini ditulis secara khusus untuk menasihati pemerintah kala itu, sebagai kado kepada Sultan Malik Syah dari Dinasti Saljuk.

Al-Ghazali sebagai tim sukses Malik Syah alih-alih menerima tawaran masuk kabinet, dia malah menyingkir dan sebagai tanggung jawab moralnya dibuatlah kitab tersebut. Mungkin, dalam spirit berbeda, semacam Machiavelli yang menulis buku The Prince (Sang Penguasa, 1513) dan Discorsi Sopra La Prima Deca di Tito Livio (1519) yang dipersembahkan untuk penguasa Italia saat itu.

Seorang Ibnu Taimiyah (661 H/1263 M) yang terkenal puritan ternyata ketika membahas politik, konsepnya amat liberal. Bagi Ibnu, hak-hak rakyat harus dijadikan daulat utama. Ahlalu halli wal aqdi jangan sampai memberangus kedaulatan warga ketika memilih imam (kepala negara).

Baca juga: Menyalakan Imajinasi Politik Miraj, Mewujudkan Biopolitik Sehat

Ibnu Taimiyyah juga menolak gagasan Al-Mawardi berkaitan dengan hak-hak istimewa satu kelompok masyarakat. Bagi Ibnu Taimiyyah yang harus dikedepankan ketika memilih pemimpin adalah kejujuran (amânah) dan kewibawaan atau kekuatan (al-quwwah). Ibnu Taimiyah juga menerapkan spirit profesionalisme dengan mewajibkan kepala negara memilih para pembantunya sesuai keahliannya.

Bagi Ibnu Tamiyyah, tidak penting kriteria yang berbasis politik identitas dalam memilih seorang pemimpin. Yang harus menjadi prioritas adalah kompetensi, profesionalisme, ketangkasan menyelesaikan masalah, kesanggupan merawat keberagaman, dan tidak korup. Apa pun agama dan latar belakang daerahnya. Bahkan, ”seorang kafir yang adil jauh lebih berhak dipilih ketimbang Muslim yang dzalim”.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/JHK0RVYV9BUYllNqMzl4VlZXCyg=/1024x850/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F11%2F02%2Ff3f3daf8-34f3-46ac-8e80-a920a79f1e1d_jpg.jpg

Politik yang berkualitas

Pada 2024, kita akan menyelenggarakan hajat demokrasi nasional, pemilu lima tahunan. Gegap gempitanya sudah dimulai dari sekarang. Partai-partai mulai saling menjajaki untuk mengusung calon presidennya, termasuk kemungkinan koalisinya. Lembaga survei juga seperti biasanya terus memantau pergerakan tiap-tiap calon, baik dari sisi kinerja, popularitas, maupun elektabilitasnya.

Jangan tanya ihwal ruang publik. Sudah satu tahun terakhir dipenuhi baliho dan spanduk para calon penguasa, termasuk jalan ke arah kuburan. Pada ruang publik seperti itu jangan harap tercipta dialog delibratif, yang terjadi adalah komunikasi searah di mana mereka yang lewat dipaksa membaca atau melihat kata-kata yang dituliskan mereka dengan tampilan wajah yang dipoles setampan atau secantik mungkin.

Miraj semoga menyuntikkan kesadaran ihwal pentingnya menaikkan mutu demokrasi kita sehingga menyentuh langit-langit substansinya, tidak justru meluncur ke bawah menjadi sekadar elektoral. Demokrasi yang memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan pada segenap warga, bukan mobokrasi atau democrazy. Banalitas bertukar dengan moralitas politik.

Asep SalahudinRektor IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya

SUMBER: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/02/15/miraj-dan-banalitas-politik

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>