SBY: Ajak Rakyat Bicara jika Ingin Mengubah Sistem Pemilu


Presiden ke-6 RI dan Ketua Majelis Tinggi Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono ikut angkat bicara terkait polemik sistem pemilu. Eksekutif, legislatif, dan yudikatif tak boleh begitu saja gunakan kekuasaan yang dimiliki.

Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·
https___asset.kgnewsroom.com_photo_pre_2021_11_23_10d82584-e27d-46c0-a134-928e6cfbc19c_jpg

JAKARTA,KOMPAS — Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan, perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup tidak dapat begitu saja diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Perubahan sistem yang bersifat mendasar, termasuk sistem pemilu, perlu dilakukan dengan melibatkan seluruh rakyat.

”Rakyat sungguh perlu diberi penjelasan tentang rencana penggantian sistem pemilu ini. Karena dalam pemilihan umum, merekalah yang paling berdaulat. Inilah jiwa dan napas dari sistem demokrasi,” kata Yudhoyono yang juga menjabat Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat dalam siaran persnya, Minggu (19/2/2023).

Penjelasan yang gamblang tersebut mencakup perbedaan sistem pemilu proporsional terbuka yang saat ini berjalan dan sistem proporsional tertutup yang dahulu pernah diterapkan pada pemilu-pemilu sebelum tahun 2009.

”Mereka harus tahu bahwa kalau yang digunakan adalah sistem proporsional tertutup, mereka harus memilih parpol yang diinginkan. Selanjutnya, partai politiklah yang hakikatnya menentukan kemudian siapa orang yang akan menjadi wakil mereka,” tambah Yudhoyono.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/em0fUFK5hte1tZ3mQSTA8Tk7CRc=/1024x2680/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F05%2Ff65a72ef-3379-4bc6-bbe4-9fa08c8ab1f5_png.png

Sebaliknya, dalam sistem pemilu proporsional terbuka, rakyat dapat memilih partai atau orang yang mereka percayai untuk menjadi wakilnya atau memilih keduanya (partai dan orang).

Dalam tatanan kehidupan bernegara yang baik dan dalam sistem demokrasi yang sehat, ada semacam konvensi, baik tertulis maupun tidak, bahwa rakyat perlu diajak bicara ketika hendak mengubah sesuatu yang bersifat fundamental. Hal yang fundamental itu seperti konstitusi, bentuk negara, sistem pemerintahan, dan juga sistem pemilu.

Pelibatan rakyat bisa dilakukan dengan beragam cara, baik formal maupun informal. Misalnya, dengan menggelar referendum untuk cara yang formal ataupun jajak pendapat jika ingin menggunakan cara yang tidak terlalu formal.

Mengingat sistem pemilu merupakan sesuatu yang bersifat fundamental dan berkaitan dengan hajat hidup rakyat secara keseluruhan, Yudhoyono mengingatkan, lembaga-lembaga negara baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif tidak boleh begitu saja menggunakan kekuasaan yang dimiliki.

Baca juga : Antara Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dan Tertutup

Pelipatan surat suara calon anggota DPR dalam Pemilu 2019 di GOR Kebon Jeruk, Jakarta, Sabtu (2/3/2019). Dalam sistem proporsional terbuka, pemilih bisa langsung memilih calon anggota DPR pilihannya.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Pelipatan surat suara calon anggota DPR dalam Pemilu 2019 di GOR Kebon Jeruk, Jakarta, Sabtu (2/3/2019). Dalam sistem proporsional terbuka, pemilih bisa langsung memilih calon anggota DPR pilihannya.

Mengubah sistem pemilu bukan suatu keputusan dan bukan pula kebijakan yang lazim dilakukan dalam proses dan kegiatan manajemen nasional seperti kebijakan pembangunan.

”Bagaimanapun, rakyat perlu diajak bicara. Kita harus membuka diri dan mau mendengar pandangan pihak lain, utamanya rakyat. Mengatakan ’itu urusan saya dan saya yang punya kuasa’ untuk semua urusan tentu tidaklah bijak,” ujar Yudhoyono.

Cara semacam itu, menurut dia, tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Para pendiri bangsa telah mewariskan nilai-nilai consensus building yang sering diwujudkan dalam musyawarah untuk mufakat, berdialog dan berembuk, take and give. Hal itu tecermin ketika Bung Karno, Bung Hatta, M Yamin, Supomo, Ki Bagus, dan lain-lain berembuk dan saling mendengar saat merumuskan dasar-dasar negara baru.

Ingatkan MK

Yudhoyono juga mengingatkan MK agar hati-hati dalam menangani perkara pengujian sistem pemilu yang saat ini tengah berlangsung. Perkara tersebut merupakan perkara besar yang menyangkut isu fundamental.

Suasana sidang di Mahkamah Konstitusi, Rabu (12/9/2018).
KOMPAS/SHARON PATRICIA

Suasana sidang di Mahkamah Konstitusi, Rabu (12/9/2018).

”Hakikatnya salah satu fundamental consensus dalam perjalanan kita sebagai bangsa. Apalagi putusan MK bersifat final dan mengikat. Bagaimana jika putusan MK itu keliru? Tentu bukan sejarah seperti itu yang diinginkan oleh MK maupun generasi bangsa saat ini,” kata Yudhoyono.

MK memang tengah menangani perkara pengujian Pasal 168 Ayat (2), Pasal 342 Ayat (2), Pasal 353 Ayat (1) huruf b, Pasal 386 Ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 Ayat (2), serta Pasal 426 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Pasal-pasal yang mengatur sistem pemilu proporsional terbuka tersebut dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Permohonan diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus PDI-P), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono.

Para pemohon tersebut mendalilkan berlakunya sistem pemilu proporsional yang berbasis suara terbanyak telah dibajak oleh calon-calon anggota legislatif yang pragmatis yang hanya bermodal kepopuleran. Mereka menjual diri tanpa ikatan ideologis dengan partai dan strukturnya serta tidak memiliki pengalaman mengelola parpol atau organisasi berbasis sosial politik. Hal tersebut mengakibatkan para calon terpilih akhirnya tidak mewakili partai, tetapi hanya mewakili dirinya sendiri.

Contoh surat suara dengan desain yang disederhanakan saat simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2024 di Kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Selasa (22/3/2022).
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Contoh surat suara dengan desain yang disederhanakan saat simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2024 di Kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Selasa (22/3/2022).

Selain itu, pemilihan dengan sistem proporsional terbuka telah menimbulkan individualisme para politisi sehingga mengakibatkan maraknya konflik dan kanibalisme di lingkup internal partai. Sistem ini melahirkan persaingan bebas yang menempatkan kemenangan individual dalam pemilu, padahal semestinya yang terjadi adalah kompetisi antarpartai seperti diamanatkan Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945.

Para pemohon tersebut juga mengaku dirugikan dengan pemberlakuan pasal-pasal yang mengatur sistem proporsional terbuka dalam UU Pemilu. Sebab, hal itu mengakibatkan pemilu menjadi sangat mahal, melahirkan kompetisi antarcaleg yang tidak sehat, dan mendorong praktik politik uang.

Hingga kini, MK sudah menggelar tujuh kali sidang dalam perkara tersebut. Selain mendengarkan dalil-dalil pemohon, MK sudah mendengarkan keterangan DPR, pemerintah, Komisi Pemilihan Umum yang memberikan keterangan secara tertulis, dan sejumlah pihak terkait, seperti Partai Nasdem, Partai Garuda, dan empat pihak terkait lain. Menurut rencana, MK akan kembali menggelar sidang untuk mendengarkan keterangan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan M Sholeh (advokat).

Dalam persidangan sebelumnya, yaitu sidang tanggal 26 Januari 2023, DPR telah menyampaikan pendapatnya mengenai sistem pemilu. Pendapat DPR tersebut terbelah. Delapan fraksi meminta MK menolak permohonan untuk mengubah sistem pemilu, sedangkan satu fraksi lain (PDI-P) meminta MK untuk menerima permohonan pengujian sistem pemilu tersebut.

Baca juga : Saat Sejumlah Parpol Coba Patahkan Uji Materi Sistem Pemilu

Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Sabtu (29/8/2020).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Sabtu (29/8/2020).

Anggota DPR dari Golkar, Supriansa, yang mewakili institusi DPR menyampaikan sikap delapan fraksi tersebut (Golkar, Nasdem, Gerindra, PKB, Demokrat, PKS, PAN, PPP). Kedelapan fraksi tersebut berpandangan bahwa penerapan sistem proporsional tertutup merupakan kemunduran demokrasi.

Selain itu, sistem pemilu proporsional terbuka merupakan perwujudan demokrasi berdasarkan kedaulatan rakyat yang memungkinkan pemilih dapat menentukan caleg yang diinginkannya.

”Kami tidak ingin demokrasi ini mundur,” ujar Supriansa.

Baca juga : Mahkamah Konstitusi Diminta Tak Terjebak pada Penentuan Sistem Pemilu

Sementara itu, pemerintah yang diwakili Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar mengungkapkan, sistem pemilu proporsional terbuka masih relevan sebagai dasar penyelenggaraan pemilu dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar
KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI

Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar

Pemerintah juga mengingatkan bahwa tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan. Perubahan yang bersifat mendasar terhadap sistem pemilu di tengah proses tahapan yang tengah berjalan berpotensi menimbulkan gejolak sosial politik, baik di partai maupun di masyarakat.

SUMBER: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/02/19/sby-ajak-rakyat-bicara-jika-ingin-mengubah-sistem-pemilu

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>