Mengapa setelah berdemokrasi selama 25 tahun, kita masih juga belum mampu memberantas perilaku koruptif dan korupsi?
Oleh
RIZAL SUKMA
13 April 2023 05:21 WIB
ANALISIS POLITIK
Korupsi dan Demokrasi
Mengapa setelah berdemokrasi selama 25 tahun, kita masih juga belum mampu memberantas perilaku koruptif dan korupsi?

Salah satu hal yang paling diharapkan dari demokrasi adalah terciptanya kondisi yang mengharuskan negara (baca: para penguasa) menciptakan kesempatan yang sama bagi semua warga negara untuk memiliki kehidupan lebih baik. Untuk itu, demokrasi diharapkan tidak hanya mampu menjamin kebebasan (freedom), keamanan (safety), dan hak asasi warga negara, tetapi juga mampu menghasilkan kesejahteraan dan keadilan bagi semua. Bahkan, dua kondisi terakhir ini—kesejahteraan dan keadilan—kerap menjadi hal yang paling didambakan oleh mereka yang hidup dalam sistem demokratis.
Namun, ketika apa yang diharapkan dari demokrasi itu tidak kunjung tiba atau dirasa tidak sesempurna yang diharapkan, maka ada saja pihak-pihak yang dengan mudah menyalahkan demokrasi itu sendiri. Berbagai narasi, seperti yang pernah saya sampaikan dalam analisis politik sebelumnya (Kompas, 16 Februari 2023), dilontarkan untuk menyudutkan demokrasi, bahkan dengan tidak malu-malu memuji-muji sistem politik autokrasi (autocracy) yang dianggap lebih hebat.
Banyak yang lupa bahwa kemampuan demokrasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan melahirkan kesejahteraan sangat ditentukan oleh para praktisi demokrasi itu sendiri. Demokrasi kita, misalnya, menjadi cacat karena semakin banyaknya benalu-benalu yang menghambat pertumbuhan ekonomi. Lihat saja sejumlah peristiwa koruptif belakangan ini, yang melibatkan para pejabat, politisi, dan elite negeri ini, yang membuat perasaan kita sebagai warga negara bercampur aduk. Kita jengkel, sebal, sedih, dan marah terhadap berbagai kasus korupsi yang melanda negeri ini seperti tiada henti.
Kondisi ini diakui secara terbuka oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang mengatakan bahwa korupsi di Indonesia sekarang terjadi di mana-mana, hampir di semua sektor (Kompas, 25 Maret 2023). Korupsi inilah yang menjadi salah satu benalu utama yang terus-menerus menghambat dan merusak kemampuan demokrasi untuk menghasilkan capaian pembangunan yang positif. Oleh karena itu, kita tidak boleh putus asa dan keliru mengambil kesimpulan bahwa demokrasilah yang menjadi penyebab lambannya kemajuan ekonomi.
Meskipun kausalitas antara tipe rezim (demokrasi atau autokrasi) dan pertumbuhan ekonomi masih terus menjadi topik perdebatan, untuk negara-negara di mana korupsi begitu menggurita, sistem demokrasi memberi peluang yang lebih baik bagi kemajuan ekonomi. Setidaknya ada tiga alasan untuk itu.
Baca juga: Citra Demokrasi
Kedua, demokrasi memungkinkan publik, terutama media dan organisasi masyarakat sipil, menyingkap kasus-kasus korupsi yang terjadi. Dalam demokrasi, yang menjamin kebebasan media dan keterbukaan informasi, sulit menyembunyikan kasus-kasus korupsi, seperti halnya di sistem otoritarian. Bahkan, penggunaan media sosial semakin memudahkan dan memperkuat peran masyarakat dalam mengungkap praktik-praktik korupsi. Berbeda dengan negara otoriter, negara demokratis tidak bisa membungkam dan melarang rakyatnya menyampaikan pendapat secara bebas dan terbuka.
Ketiga, hanya dalam sistem demokrasi pula, pemilihan umum bisa dilaksanakan berdasarkan prinsip yang adil dan bebas. Rakyat bebas menggunakan suaranya untuk menempatkan seseorang dalam jabatan politik tertentu, baik di tingkat daerah maupun pusat. Rakyat, setidaknya secara teoretis, bisa menghukum para politisi, partai politik, dan pemerintah yang dianggap korup melalui pemilu dengan cara tidak memilihnya kembali.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, kenapa demokrasi di Indonesia seolah menyuburkan, bukannya mematikan, korupsi? Mengapa setelah berdemokrasi selama 25 tahun, kita masih juga belum mampu memberantas perilaku koruptif dan korupsi? Berbagai studi menunjukkan, kesulitan dalam memberantas korupsi di negara-negara pasca-otoriter disebabkan oleh belum terkonsolidasinya sistem demokrasi yang dijalankan.

Warga membuka surat suara dalam bilik suara saat berlangsung simulasi pemungutan suara dan penghitungan suara Pemilu 2019 di Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat, Selasa (9/4/2019). Simulasi dilakukan untuk memantau kesiapan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dalam pelaksanaan pemilihan presiden dan legislatif yang berlangsung serentak.
Oleh karena itu, memperkuat demokrasi menjadi agenda penting bagi pemberantasan korupsi. Kita perlu menjaga independensi dan mencegah pelemahan kewenangan dan kapasitas komisi antikorupsi dan lembaga-lembaga penegakan hukum. Jika kita ingin mempertahankan ruang kebebasan publik untuk melawan korupsi, melawan suara-suara yang mendukung narasi otoritarianisme menjadi keharusan. Narasi kontra-otoritarianisme ini perlu difokuskan pada pentingnya menjamin kebebasan pers, memperkuat organisasi masyarakat sipil, dan menjaga integritas pemilihan umum.
SUMBER: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/04/12/korupsi-dan-demokrasi-1